Barak Militer untuk Remaja: Solusi Gubernur Jabar Hadapi Krisis Moral Generasi Muda

Oleh: Dr.(c). Sugiannoor, S.Pd.I., M.Pd. 

(Ketua LP Maarif NU Bontang)


Fenomena kenakalan remaja di Indonesia belakangan ini semakin meresahkan. Tawuran antar pelajar, geng motor, penyalahgunaan narkoba, bullying, hingga penyebaran konten negatif di media sosial menjadi indikator krisis karakter yang mengancam masa depan generasi muda. Nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan etika sosial yang seharusnya ditanamkan sejak dini kini semakin tergerus oleh arus pergaulan bebas dan kurangnya pengawasan.


Merespons hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggagas kebijakan yang cukup kontroversial: mengirim remaja yang terlibat kenakalan sosial ke barak militer. Program ini diproyeksikan sebagai upaya pembentukan karakter melalui pelatihan bergaya militer, dengan harapan dapat menanamkan disiplin, tanggung jawab, serta semangat kebangsaan kepada para remaja yang dianggap sulit dibina melalui jalur pendidikan formal.


Gubernur Jawa Barat menegaskan bahwa ini bukan bentuk hukuman, melainkan pembinaan intensif. Program akan melibatkan kerja sama antara pemerintah daerah, TNI, dan dinas sosial, dengan durasi pelatihan yang disesuaikan berdasarkan asesmen terhadap masing-masing peserta. Uji coba dijadwalkan mulai pertengahan tahun 2025 di wilayah-wilayah dengan tingkat kenakalan remaja tinggi.


Meskipun ide ini mendapatkan dukungan dari sebagian orang tua dan masyarakat sebagai langkah tegas menghadapi krisis moral, sejumlah kalangan, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyuarakan keprihatinan. Mereka menekankan pentingnya menjamin bahwa seluruh proses pembinaan tetap mengedepankan prinsip perlindungan anak, tanpa kekerasan fisik maupun tekanan psikologis yang bisa berdampak jangka panjang.


Dari perspektif pendidikan, pendekatan semacam ini tentu mengundang diskusi. Di satu sisi, pelatihan militer bisa menjadi alternatif dalam membangun ketegasan dan kedisiplinan pada remaja. Namun, di sisi lain, dunia pendidikan tetap memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa proses pembinaan tidak mengabaikan aspek psikologis, afektif, dan sosial anak. Oleh karena itu, penting agar kebijakan ini dilengkapi dengan panduan yang jelas, seleksi peserta yang adil, serta pengawasan dari tenaga profesional seperti guru, konselor, psikolog, dan pekerja sosial.


Solusi yang ideal adalah pendekatan yang menyatukan pelatihan disiplin dengan program rehabilitasi terpadu. Pendidikan karakter harus tetap menjadi fondasi, didukung oleh pelibatan keluarga dan komunitas sebagai lingkungan pembinaan utama. Restorasi moral remaja tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi melalui proses pembelajaran, keteladanan, dan pendampingan yang berkelanjutan.


Kebijakan ini mencerminkan keprihatinan pemerintah terhadap krisis moral generasi muda dan menjadi bahan evaluasi penting bagi dunia pendidikan. Apapun bentuk intervensinya, pendidikan harus tetap menjadi ruang yang aman, mendidik, dan membentuk karakter secara utuh—bukan sekadar menciptakan kepatuhan, tetapi membangun kesadaran dan tanggung jawab sosial yang sejati.

Post a Comment

Previous Post Next Post